Minggu, 18 Maret 2012

DIALOG DENGAN SYABAB HIZBUT TAHRIR

Posted by anak baru GEDE |

(Bagian Kedua dari lima Tulisan)

Mungkin, dalam risalah ini ada kekurangan dan kesalahan, kami harapkan peran serta pembaca sekalian untuk meluruskan dan membenahi kesalahan-kesalahan tersebut. Di risalah ini, kami mengganti identitas kami dan identitas aktivis Hizbut Tahrir tersebut, untuk lebih menggeneralisir, walaupun tidak bisa merepresentasikan pemikiran HT 100% beserta bantahannya secara benar-benar ilmiah. Namun, bisa sedikit mewakili pemikiran HT secara global dan bantahannya. Semoga bermanfaat…

Keterangan :
Statement Syabab HT : Biru
Statement Kami : Merah

MUAMALAH DENGAN PENGUASA

Ana yakin antum juga masih mengingat salah satu hadist Rasullullah SAW "Sesungguhnya pemimpin yang paling jahat adalah pemimpin yang lalai, maka jangan sampai kamu termasuk golongan mereka" (Bukhari Muslim). Imam Abu Dawud dan At Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadist "A'dhamul jihaad kalimata adlin 'inda sulthooni Jaairin". Sebagai tambahan, menurut Imam An-Nasa'i, hadist diatas berkaitan dengan mengatakan kebenaran pada penguasa yang menyeleweng dari Islam. Dengan kata lain aktivitas yang disyaratkan berkaitan dengan menda'wahkan islam dan aktivitas pengoreksian termasuk kepada penguasa(insyaAllah dalam kitab Muqaddimah Dustur, hal ini juga dijelaskan, antum bisa mengeceknya lebih lanjut).
Imam Bukhori, Muslim, Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadist,
"Al-imaamu raa'in wahuwa masyuulun 'an roiiyyatihi".
Ri'ayah/pengaturan adalah wewenang negara, pengaturan urusan umat inilah yang disebut
politik (Mohon dilihat di kamus Al-Muhith). Pengertian ini juga dapat diambil dari sekian banyak dalil syara' yang berkaitan dengannya. Definisi ini sebenarnya menggambarkan fakta politik yang sesungguhnya dari perspektif politik itu sendiri. Akan tetapi, pada kenyataannya, banyak kalangan berbeda-beda dalam memformulasikan politik.
Dalam pandangan syariat, pengaturan urusan rakyat, secara praktis dan langsung, merupakan kewenangan penguasa(Khalifah). Rasullullah bersabda: "Siapa saja yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang keluar dari kekuasaan Islam sejengkal saja, kemudian ia mati, kecuali matinya adalah mati jahiliyah." (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas), begitu juga Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurayrah, "Bani Israil senantiasa diatur urusannya oleh para Nabi. Ketika seorang nabi wafat, ia akan digantumkan oleh Nabi yang lain, Akan tetapi, tidak ada Nabi setelahku. Yang ada adalah para Khalifah".

o> Pernyataan antum di atas tidak relevan dengan pernyataan sebelumnya. Kami katakan demikian karena antum ‘memaksa’ dalil dalam beristidlal supaya bisa diseret ke dalam pemahaman hizb, dimana penyeretan ini merupakan aktivitas muhdats yakni membawa dalil ‘am kepada takshish yang tak memiliki nash khosh. Membawa dalil mutlaq kepada taqyid yang tak memiliki nash muqoyad. Karena pembahasan tentang mu’amalatul hukkam adalah juz’un (bagian) dari aktivitas Du’atun ilal haqqi wa Amiirina bil Ma’ruf wa Naahina ‘anil Munkar. Pembahasan tentang nashihatul umara’ adalah bagian dari nashihatul ‘aam. Pertanyaan kami adalah kewajiban siapakah menasehati umara’ itu? Apakah kewajiban setiap orang? Hizbut tahrir saja? Atau kewajiban ahlul ‘ilmi wat ta’lim? Jika dikatakan setiap orang, maka yang berpendapat seperti ini adalah manusia jahil mufrith yang layak didera atas pendapatnya yang bid’ah, jika dikatakan tanggung jawab hizb maka jawabannya serupa karena a’dha (anggota) hizb banyak yang jahil terhadap syariat islam sendiri, apalagi aqidah!!! bagaimana mungkin mereka bisa dikatakan sebagai penasehat terhadap hukkam???

Yang benar adalah menasehati hukkam adalah fardhu kifayah tugas ahlul ‘ilmi wa ta’lim, ulama’ yang ‘alim mujtahid, bukan awwamun naas!!! Kewajiban awwamun naas adalah ta’lim, ‘amal, da’wah dan sabar.

Adapun apa yang dilakukan hizb adalah bukan menasehati penguasa, dalam Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hal 42, hizb mengatakan : “Aktivitas hizb adalah menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya. Mengungkapkan makar-makar jahat mereka, mengoreksi dan mengkritik mereka…”.

Kita bandingkan dengan apa yang dinyatakan para ulama salaf terhadap hukkam fajir dan suu’, Imam Hasan bin Ali Barbahari berkata dalam as-Sunnah : “idza ro`aita ar-rajula yad’uw ‘alas sulthooni fa’lam annahu shoohibu hawaa” (artinya : Apabila kamu melihat seorang memprovokasi (kebencian atau penentangan) terhadap sultan, maka ketahuilah bahwa dia adalah budak hawa nafsu) juga dalam Mu’amalatul Hukkam hal 9-10, diriwayatkan ketika kekuasaan dipegang oleh al-Watsiq Billah, para Fuqoha’ Baghdad berkumpul menghadap  Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu) dan mereka berkata kepada Imam : “para penguasa sudah melampaui batas yakni dengan memaksa ummat meyakini al-Qur’an makhluk. Kami tidak ridha dengan model kepemimpinannya dan kesulthonannya.” Imam Ahmad berdiskusi dengan mereka ttg perkara ini dan berkata : “Alaikum bil inkaari fii qulubikum, wa laa takhla’u yadan min thoo’atin, ta tasyuqqu ‘ashol muslimiina, wa laa tasfiku dimaa`akum wa dimaa’al muslimin ma’akum, wandhuruw fii ‘aaqibati amrikum, washbiruw hatta yastariiha barrun wayastarooha min faajirin” (artinya : wajib atasmu mengingkari dengan hatimu! Dan janganlah kau lepaskan ketaatan! Jangan kau buka kemaksiatan sesama muslim dan jangan menumpahkan darahmu dan darah-2 kaum muslimin yang besertamu! Lihatlah akibat perbuatanmu, dan bersabarlah hingga bumi ini tentram dan terbebas dari para pelaku kemaksiatan yg mendatangkan bencanai!) [al-Adabus Syari’ah lil Ibni Muflih I/195-196]

Manakah relevansi hadits-2 yang dikemukakan hizb dengan aktivitas penentangannya terhadap penguasa, membuka aib-2nya, mengungkapkan kejelekan-2nya, dengan dalil-2 yang antum sebutkan di atas (i.e. a’dhamul jihaada kalimatul haqq ‘inda sulthoon atau riwayat yang semakna), jika antum faham bahasa arab, maka ketahuilah shighat hadits tersebut, apakah ‘inda sulthan bermakna mengungkapkan kejahatan dan keburukannya serta aib-2nya di mimbar-2 dan khalayak?? Apakah ‘inda sulthan bermakna mengkafirkan mereka, menolak berwala’ dengan mereka dan menolak taat dalam hal yang ma’ruf?? Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ‘inda sulthan adalah di sisi penguasa, sebagaimana perkataan Imam Ibnu Nakhas dalam Tanbihul Ghafilin wa Tabdziru Salikin min Af’alil Halikin hal 64, “dalam menasehati penguasa, carilah tempat yang sepi tidak di keramaian, dengan suara yang lemah lembut, nasehat yang sembunyi-2 dan tidak ada orang ketiga.”

Al-Imam Ibnul Jauzi dalam al-Adab (I/195-197) berkata : “Hal yang dibolehkan dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar terhadap pihak penguasa adalah sebatas peringatan dan nasehat. Adapun dengan cercaan seperti, “Kamu Dhalim!!! Wahai manusia yang tidak takut kepada Allah”, yang akhirnya akan berdampak pada lahirnya fitnah yang merembet dan meluas.” Lebih luas tentang perkara ini bisa merujuk ke  dalam kitab Mu’amalatul Hukkam karya Syaikh Abdus Salam Barjas Alu Abdul Karim Rahimahullah.

Hizbut tahrir mengikuti manhaj khowarij dalam mengkafirkan semua hukkam yang ada saat ini dan menyatakan semua negeri kaum muslimin adalah darul kufur sebagaimana eksplisit dalam manhaj hizbit tahrir fi taghyir, dikarenakan mereka (i.e. para hukkam skrg) tidak berhukum  dengan hukum Allah, mereka berdalil, wa man lam yahkum bima anzalaLlah faulaika humul kafirun. Padahal jika kita lihat tafsir para mufassirin, diriwiyatkan dari Ibnu Mas’ud RA, beliau berkata, kufrun duna kufrin, yakni kufur yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari millah. Takfir terhadap penguasa kaum muslimin secara sporadis inilah yang menyebabkan hizb menghalalkan mencerca, menghujat dan menentang para hukkam yang ada saat ini. Bantahan fitnah takfiri dan khoriji ini bisa dibaca secara mendetail dalam kitab Qurrotul ‘Uyun fi tashhih tafsir Ibni Abbas karya Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly dan al-Hukmu bighoiri ma anzalaLlah karya Syaikh DR. Khalid al-Anbary.



Bersambung…

Selasa, 13 Maret 2012

DIALOG DENGAN SYABAB HIZBUT TAHRIR

Posted by anak baru GEDE |

Mungkin, dalam risalah ini ada kekurangan dan kesalahan, kami harapkan peran serta pembaca sekalian untuk meluruskan dan membenahi kesalahan-kesalahan tersebut. Di risalah ini, kami mengganti identitas kami dan identitas aktivis Hizbut Tahrir tersebut, untuk lebih menggeneralisir, walaupun tidak bisa merepresentasikan pemikiran HT 100% beserta bantahannya secara benar-benar ilmiah. Namun, bisa sedikit mewakili pemikiran HT secara global dan bantahannya. Semoga bermanfaat
Keterangan :

Statement Syabab HT : Biru

Statement Kami : Merah

Bismi Rabbi alladzi kholaqo kulla sya’in bidliddihi liya’rifa kulla minhuma bishoohibihi, ala innan nuuro yu’rofu bidhdhulmi wal ‘ilmu yu’rafu bil jahli, wal khoiro yu’rafu bisy syarri wan naf’a yu’rafu budhdhurri wal halwa yu’rafu bilmurri…

Bismillahi abda`u haadzihir risalah…

(Artinya : Dengan nama Rabb yang menciptakan segala sesuatunya dengan lawannya agar masing-masing diketahui dari pasangannya, ingatlah sesungguhnya cahaya diketahui dengan adanya kegelapan, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adanya kemudharatan dan manis diketahui dengan adanya pahit… dengan nama Allah aku memulai risalah ini…)

DALIL PENDIRIAN PARTAI DAN KELOMPOK ADALAH MASYRU’???

Sebelumnya, perkenankan Kami menjelaskan terlebih dahulu tentang Hizbut Tahrir- tidak lebih dan tidak kurang- untuk menghindari salah persepsi yang justru akan memicu keretakan kita sebagai sesama kaum muslimin.

Kami min Hizbit Tahrir, insyaAllah Kami akan berusaha untuk menjawab sesuai dengan apa yang Kami pahami tentang Hizbut Tahrir sebagai partai politik.

0> Telah jelas bahwa antum dari Hizbit Tahrir baik antum sebutkan atau tidak, penegasan antum mengindikasikan kebanggaan antum terhadap hizbit tahrir, hal ini serupa dengan apa yang difirmankan Allah Ta’ala :

Kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”.(QS. Al-Mu’minun (23) : 53 dan Ar-Rum (30) : 32)

padahal dalam al-Qashash (28) : 76, Laa Tafraah, innaLlaha laa yuhibbul farihiin “"Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri."

Padahal penamaan kami min hizbit tahrir adalah ghoirul masyru’, tidak memiliki dasar pijakan dan termasuk tafriqul ummah. Karena tak ada ummat islam terdahulu yang shalihin ketika ditanya mereka akan menjawab, kami Syafi’yah, kami Malikiyah…!!! Melainkan mereka-2 yang muta’ashshib dengan madzhab dan kelompok-2 sempalan… kami Mu’tazily, kami syi’iy atau semacamnya… namun mereka akan menyatakan kami Sunni, kami ahlus sunnah, kami ahlul hadits atau kami salafy (pengikut salaful ummah)… (Penyebutan istilah ini –i.e. ahlus sunnah, ahlul hadits, salafiyun, dls- Bukan penamaan muhdats (bid’ah), namun berdasar dari istinbat para ulama sunni terhadap dalil kitabain, dan penamaan ini mu’tabar (diakui) dalam kitab-2 salaf, seperti aqidah salaf ashhabul hadits karya ash-Shabuny, I’tiqod Ahlus Sunnah karya al-lalika`i,Kitabus Sunnah karya Imam Barbahari dll; adapun penamaan Hizb at-Tahrir, telah jelas akan kemuhdatsannya, karena tak warid (datang dalilnya) sedikitpun dari kitabain, atsarus sahabah maupun aqwalus salaf, bahkan qorinah (indikasinya) nya tidak ada sedikitpun. Penamaan ini adalah penamaan kholafy (kontemporer) oleh muassis hizb (pendiri partai), yakni Taqiyuddin an-Nabhany ghofarollahu lahu)

Aktivitas Hizbut Tahrir adalah aktivitas politik, bahkan Antum boleh mengatakan tidak ada aktivitas Hizbut Tahrir yang bukan politik, semua ini tidak lepas dari pemahaman atas penggalian dalil-dalil syara'.

Kami katakan : ad-Da`aawiy maa lam tuqiimu ‘alaihaa bayyinatin abnaauha ad’iyaa’ (Pengaku-ngaku tanpa disertai bayyinah hanyalah sekedar pengaku-ngaku saja)…

Antum katakan semua ini tidak lepas dari pemahaman atas penggalian dalil-dalil syara', maka sesungguhnya ini hanyalah klaim/pengakuan semata tanpa dalil… ataupun jika dikatakan beristinbat, maka istinbat yg digunakan adalah istinbat metode kholafiyah… karena tidak ma’tsur dan warid dari salaf metode da’wah yang hanya memfokuskan aktivitas politik semata. Sesungguhnya, inilah letak penyelewengan hizb dari manhaj salaf tatkala prioritas dan fokus hanya diarahkan kepada siyasah. Jika antum mengatakan istinbat (penggalian dalil) hizb dari dalil syara’ yufiidu manhaj siyasi (membuahkan manhaj siyasi), maka tunjukkan ke kami dalil dari kitabain yang qoth’I ad-Dilalah (Pasti penunjukannya) ttg manhaj ini??? Bahkan jika kita mau mengembalikan segala perselisihan ini kepada kitabain, maka kita akan mendapatkan dalil-dalil yang menyelisihi manhaj siyasi hizb. (kami dapat menunjukkan berpuluh-2 dalil yg qoth’i ad-dilalah bahwa manhaj da’wah anbiya’ dan para salaful ummah yg shalihin adalah tauhid dan pembenahan aqidah, memerangi syirik dan bid’ah fid din, namun tidak ada satupun da’wah anbiya’ dan salafus shalih memiliki ghoyah memperoleh kekuasaan atau siyasiyah)…



Antum mungkin ingat Imam Jalaluddin(dalam tafsir Jalalain), menjelaskan lafadz AL-Khair dalam surat Al-Imran 104 bima'na Al-Islam, adapun dalam tafsir Imam Ibnu Katsier(tafsirul Qur'anil 'Azhim), beliau menafsirkan lafadz tersebut dengan Ittiba' Al-Qur'an dan As-sunnah.

Allah Ta’a berfirman :

Wal takun minkum ummatun yad’uuna ila al-Khair ya’muruuna bil ma’ruf wa yanhawna ‘anil munkar, wa uulaaika humul muflihun

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran (3) : 104

Kami nukilkan di sini tafsir dari ulama’ mufassirin yang kami rujuk pada kutubut tafasir

· Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-Adhim)

Ad-Dhahak mengatakan : “Mereka itu khusus para sahabat, khusus para Mujahidin dan para Ulama’.

Dari Abi Ja’far al-Baqir, Rasulullah membaca ayat ini, kemudian beliau bersabda : al-Khair maksudnya ittiba’il Qur’an was Sunnah (mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah).

Ibnu Katsir berkata : Maksud ayat ini, hendaklah ada segolongan dari ummat yang siap memegang peran ini, meskipun hal itu merupakan kewajiban bagi setiap individu ummat sesuai dengan kapasitasnya.

· Tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayil Qur’aan (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobary)

Maknanya adalah : Waltakun minkum ayyuhal mu’minun, ummatun yaquulu jamaa’atun ya’duunan Naasa ilal Khoiri ya’ni ilal Islam wa syara’ihillati syara’ahaaLlahu li’ibaadihi.

Artinya : Hendaklah ada diantara kalian wahai kaum mukminin, ummat yaitu jama’ah yang menyeru manusia kepada al-Khair yaitu islam dan syariat-2nya yang telah disyariatkan Allah kepada hamba2-Nya.

Ya’muruuna bil Ma’ruf yaitu menyeru manusia supaya ittiba’ kepada Muhammad SAW dan diennya yang berasal dari sisi Allah

Wa Yanhauna ‘anil Munkar yaitu melarang dari mengkufuri Allah dan mendustakan Muhammad dan apa-2 yg berasal dari Allah dengan berjihad dengan kedua tangan dan jawarih, hingga mereka semua tunduk dalam ketaatan.

Mengabarkan kepadaku Yahya bin Abi Thalib, ia berkata, mengabarkan kami Yazid, ia berkata, memberitakan kami Juwaibir, dari adh-Dhahak : wal takun minkum ummatun yad’uuna ila al-Khair ya’muruuna bil Ma’ruf wa yanhauna ‘anil Munkar. Beliau berkata : mereka adalah khusus sahabat Rasulullah dan mereka khusus para ruwat.

· Tafsir al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an (Abu Abdillah Muhammad Ahmad al-Anshary al-Qurthuby)

Kata min pada firman Allah minkum bermakna litab’iidh (menunjukkan sebagian), dan maknanya adalah al-Aamiruun (orang yang memerintahkan) diwajibkan adalah orang yang berilmu (ulama’) dan tidaklah setiap manusia itu ulama’. Juga dikatakan, bermakna libayanil jinsi (menerangkan keseluruhan jenis), maknanya adalah latakuunu kullukum kadzalika (jadilah kalian semua orang yang demikan, i.e. yang menyeru kepada al-Khair, beramar ma’ruf dan nahi munkar). Penafsiran ini juga benar, wallahu a’lam, sebagaimana dalam sabda nabi, Ballighuw ‘anniy walau aayah.

Al-Qurthubi berkata, Aku berkata : pendapat awal lebih benar, karena pendapat ini menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar fardhu kifayah, sebagaimana Allah telah menta’yinnya dalam firman-Nya : Alladzinna in makkannaahum fil ardhi aqoomush sholaah (mereka yang jika Allah meneguhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan sholat) sedangkan tidak setiap manusia diteguhkan kedudukannya.

· Tafsir al-Khazin/Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil (Alauddin Ali Muhammad Ibrahim al-Baghdady)

Huruf lam dalam firman Allah waltakun adalah Lam al-Amru yaitu maknanya adalah Latakun minkum ummatun du’atun ilal Khoiri (Jadilah kalian sebuah ummat yang menyeru kepada al-Khair). Dan kalimat min dalam firman-Nya minkum adalah litabyin bukan litab’iidh. Hal ini disebabkan, Allah Azza wa Jalla mewajibkan Amar ma’ruf Nahi munkar kepada setiap ummat dalam firmannya, Kuntum khoiru ummatin ukhrijat linnasi ta’muruuna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar (Kalian adalah ummat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar), maka merupakan suatu kewajiban bagi setiap mukallaf untuk beramar ma’ruf nahi munkar baik dengan tangannya, lisannya, maupun hatinya sebagaimana dalam hadits Abi Said al-Khudri. Dari sinilah makna ayat ini menjadi Kuunuw ummatan du’atan ilal Khoiri Aamiriina bil Ma’ruf wa Naahiina bil Munkar (Jadilah kalian semua suatu ummat yang menyeru kepada al-Khair dan beramar ma’ruf nahi munkar.)

· Tafsir al-Baidhawy lil Imam Baidhawy

Wal takun minkum ummatun maksudnya waltakunuu ummatan (jadilah kalian semua satu ummat), min bermakna shillatun (penghubung) bukan littab’iidh (menunjukkan sebagian), sebagaimana dalam firman Allah ta’ala : fajtanibur Rijsa minal awtsaani (jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu), bukanlah dimaksudkan menjauhi sebagian berhala namun yang dimaksudkan jauhilah semua berhala. Kata lam pada waltakun adalah lam al-Amru (lam yang membuahkan perintah). Yad’uuna ilal Khoir maksudnya ilal Islam.

· Tafsir al-Maraghy (Ahmad Mustafa al-Maraghy)

Maksudnya : waltakun minkum thooifatun mutamayyizah taquumu bid da’wati wal amru bil ma’rufi wan nahy ‘anil munkari.

Dan yang dikenai khitab dalam ayat ini adalah mereka kaum mukminin seluruhnya yang mukallaf menurut kemampuannya .

Beliau (Syaikh al-Maraghy) memberikan persyaratan bagi ummat da’wah ini sebagai berikut :

1) haruslah ‘alim tentang al-Qur’an dan as-Sunnah serta sirah nabi beserta para khulafaur rasyidinnya.

2) haruslah mengetahui tentang keadaan obyek yang akan didakwahi/dinasehati, keadaannya, kesiapannya, tabiat dan akhlaknya, yaitu dengan kata lain mengetahui keadaan (sikon) masyarakat.

3) haruslah faham dengan bahasa ummat yang hendak didakwahinya.

4) mengenal milal wan nihal wa madzahibil umam (agama-agama dan sekte-sekte serta madzhab-madzhab ummat), agar mempermudahnya dalam mengenal kebathilan.

· Taisirul Karimir Rahman min Tafsiril Kalamil Mannan (Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di)

Yad’uuna ila Khoir maksudnya adalah kepada ad-Dien, ushul dan furu’nya dan segala syariatnya.

Ya’muruna bil Ma’ruf maksudnya adalah menyeru kepada apa-apa yang diketahui akan kebaikannya oleh syara’ dan akal.

Yanhauna ‘anil Munkar maksudnya melarang dari apa-apa yang diketahui keburukannya oleh syara’ dan akal.

Beliau berkata lagi, yang termasuk di dalam thoifah ini adalah Ahlul Ilmi wat Ta’lim, yang senantiasa menyeru dan menasehati manusia baik secara umum maupun khusus dan senantiasa berihtisab dalam menegakkan kewajiban manusia untuk menegakkan sholat, menunaikan zakat dan menegakkan seluruh syariat-2 agama serta melarang dari perkara-perkara munkar.

Maka setiap orang yang menyeru manusia kepada al-Khair, baik secara umum maupun khusus, ataupun menegakkan nasihat secara umum maupun khusus, maka sesungguhnya ia termasuk ke dalam ayat yang mulia ini.

Al-Khulashoh (Kesimpulan)

Dari keterangan para ulama tafsir di atas, tampak bahwa :

Waltakun minkum ummatun di sini, ummatun bermakna jama’ah. Dan jama’ah di sini tidak dimaksudkan jama’ah-2 sebagaimana yang berkembang dewasa ini seperti Hizbut Tahrir yang menggunakan dalil ini dalam melegalkan takattul hizbi. Namun jama’ah adalah bermakna ar-Rajulu al-Wahidu ad-Daa’iy ila al-Haqqi (seseorang yang menyeru kepada hak walau seorang diri) sebagaimana diterangkan Imam al-Qodhi Ibnul ‘Araby al-Maliki dalam Ahkamul Qur’an (I/292)

Adapun min di sini, ulama berbeda pendapat, dan kedua-duanya sama-sama benar, yakni:

1) bermakna littabyin atau libayani jinsi (menerangkan jenis) dan ia berfungsi sebagai shillah (penghubung). Maknanya, Kuunuu kullukum kadzaalika walaisa ahadin duna ahadin sebagaimana dikuatkan oleh Imam al-Baghdady dan al-Baidhawy. Imam an-Nahas dalam I’rabul Qur’an (III/25) juga memperkuat hal ini, demikian pula pendapat shahibul kitab Khozkamitul Adab (V/26).

2) bermakna littab’idh (menunjukkan sebagian). Maknanya adalah annal Aamiriina yajibu an yakuunuu ulamaa’ walaysa kullun naasi ulama’ (Orang yang memerintah wajiblah dia berilmu (ulama) dan tidaklah tiap manusia itu ulama’) sebagaimana dikuatkan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya di atas (IV/165)

Kedua makna di atas tidak membenarkan membentuk hizb sebagaimana apa yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dan hizb-hizb lainnya, karena makna pertama menunjukkan bahwa seluruh kaum mukminin terkena keumuman lafadh ayat ini. Adapun makna kedua, yakni littab’idh tidak menunjukkan kewajiban membentuk hizb/partai, apalagi yang membatasi aktivitasnya hanya pada aktivitas politik, karena persyaratannya adalah amirin haruslah alim dan memiliki syarat-syarat, padahal tidaklah persyaratan ini dipenuhi oleh hizbut tahrir dan ahzab lainnya, karena hizbut tahrir dan kebanyakan ahzab lainnya memiliki manhaj yang berbeda-beda, manhaj talaqqi yang berbeda-beda dan kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun (Tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka).

Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqi mengatakan dalam Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyah, ayat ini tidak bisa dijadikan dalil bertahazzub, jika sekiranya demikian maka para salaf terdahulu akan dengan segera mendirikan ahzab dan jama’at da’wah, karena mereka adalah orang yang paling bersegera dalam kebaikan dan paling memahami ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasulullah SAW.

Jika kita perhatikan juga ayat sebelum ayat ini (i.e. Ali Imran 103) mengabarkan tentang wajibnya berpegang teguh dengan tali Allah, Allah berfirman : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” Ini menunjukkan kewajiban bagi ummat untuk bersatu dan tidak berpecah belah, sedangkan tahazzub (berpartai) termasuk aktivitas bertafarruq. Bahkan ayat setelah ayat 104 ini, menjelaskan tentang larangan Allah berpecah belah, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (Ali Imran 105)

Imam al-Baghdadi dalam Tafsir al-Khazin mengatakan, tafaraqu wakhtalafu (bercerai-berai dan berselisih) bermakna satu dan disebutkan kedua-duanya dengan maksud lita’kid (menekankan), dan dikatakan mereka berselisih dikarenakan permusuhan, mengikuti hawa nafsu dan berselisih di dalam agama Allah maka mereka menjadi firqoh-firqoh yang saling berselisih.

Imam al-Baidhawi meriwayatkan dalam tafsirnya, berkata mayoritas mufasirin, “mereka yang dimaksud di sini adalah yahudi dan nashrani”. Berkata sebagian mufasirin, “mereka adalah ahlul bid’ah ummat ini”, berkata Abu Umamah Ra, “mereka adalah kaum haruriyah di syam (khowarij)”, berkata Abdullah bin Syaddad, “Abu Umamah berpendapat demikian dan aku sependapat dengannya”, lantas ia berkata, “Mereka (haruriyah) adalah anjingnya neraka, mereka dulu adalah orang-orang yang beriman kemudian mereka kafir setelah keimanan mereka”.

Maka, apakah pantas ayat yang mulia ini (i.e. Ali Imran 104) dijadikan sebagai ayat yang menganjurkan untuk bertahazzub dan bertafarruq?? Sungguh, hizb bukanlah Du’atun ilal Khoir wa Aamirina bil Ma’ruf wan Naahiina ‘anil Munkar, namun hizb adalah salah satu dari milal wa nihal yang ada pada ummat ini, yang mengadopsi pemikiran dan pemahaman firqoh-firqoh mutaqoddimah munharifiina ‘anis salaf.

Bantahan lebih lengkap tentang syubuhat ini bisa dibaca dalam kitab ad-Da’watu ilaLlahi bainat Tajammu’il Hizby wat Ta’awunisy Syar’i karya Syaikhuna al-Fadhil Ali bin Hasan al-Halaby al-Atsary pada al-mabhatsu ats-Tsalitsa ‘asyaro (Bahasan ke-13) Syubuhat wal Jawabu ‘anha halaman 113-122).

Berkaitan dengan hal tersebut sebenarnya, ada sebuah perintah wajib adanya kelompok (bisa dibaca di Syarhu Al Asnawi, Qowaidul Hukmi fil Islam, dan Tafsir Imam Ibnu Katsier untuk lebih lanjutnya) dikalangan kaum muslimin yang melakukan aktivitas menyeru kepada Al-khair, amar ma'ruf nahi mungkar.

o> Penjelasannya telah kami terangkan di atas… bahwa ayat di atas adalah bukan perintah untuk mendirikan kelompok atau hizb… kami tantang antum untuk menunjukkan bayan tentang hal ini dalam maroji’ yang antum sebutkan, terutama Tafsir Ibnu Katsir, dan Syarh al-Asnawi, pada halaman berapa letaknya klaim antum ini

Lebih lanjut Imam Al Baidhawi dalam Minhajul Wushul fi 'Ilmi Ushul menyatakan bahwa lafadz (Al) dalam kalimat Al-Ma'ruf memiliki ma'na umum, yaitu ditujukan kepada rakyat biasa dan penguasa,

o> Memang dalam Kaidah Ushul Fiqh dikatakan al-’aam adalah al-Lafdhu al-mustaghrak lijamii’ afradihi bila hashr (Lafadh yang mencakup seluruh hal tanpa pembatasan), diantara shiyagh (bentuk kata) al-‘Aam adalah alif lam ta’rif (Al), sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : az-Zaani la yankihu illa zaaniyatan wa musyrikatan wa az-zaaniyatu laa yankihuhaa illa zaanin aw musyrikun (an-Nur (24) : 3), shighat az-zaani dan az-zaaniyah di sini bersifat ‘aam untuk semua penzina lelaki dan perempuan, tidak khusus untuk suatu kaum atau individu tertentu. Menurut ulama’ ushul terutama Hanafiyah, al-‘aam yang tidak ditakhshish adalah pasti dalam keumumannya. Namun, keganjilannya adalah tatkala al-Ma’ruf maknanya dilebarkan dari siyaqnya dalam pernyataan antum di atas. Seharusnya keumuman makna al-ma’ruf adalah sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh as-Sa’di dalam at-Taisir dan mufassirin lainnya, yakni : ad-Dien, ushul dan furu’nya dan segala syariatnya. Inilah makna keumuman tersebut. Adapun pernyataan antum di atas bukan berbicara tentang keumuman lafadh al-Ma’ruf dari segi makna, namun dari sisi khithab, jika yang dimaksud khithabnya maka dikembalikan ke lafadh sebelumnya yakni ya’muruna, dan yang dimaksud telah terang dalam tafsir yang telah kami nukilkan di atas…

Mengenai ilmu ushul fiqh ini, kami tidak heran jika hizb sering mengemukakan dalih-2 ushuliyah, dan mustholah-2nya. Bahkan dengan mustholah ini hizb menolak khobarul ahad dalam masalah aqidah. Padahal kewajiban atas setiap muslim hendaklah ia memahami dulu aqidahnya dan fiqh-2 praktis prioritas dhoruri yang wajib diketahui, karena tidak wajib ‘ain memahami ilmu ushul fiqh. Bahkan JIL (Jaringan Iblis Laknatullah) dalam pembahasan-2nya sering mempluntir ayat-2 al-Qur’an dengan kaidah-2 ushul fiqh. Bahkan, Ulil ‘Aqshor’ (bukan Abshar) Abdalla adalah orang yang juga hapal dan faham tentang qowaid ushul fiqh namun diarahkan menurut akal dan hawa nafsunya. Demikan pula firqoh-2 mu’tazilah terdahulu, mereka sering mendahulukan mustholah ushuliyah daripada nushush sharih (nash yang jelas) dari kitabain.

Imam Muhammad bin Idris adalah orang yang pertama kali menghimpun dan membukukan kaidah-kaidah ilmu Ushul Fiqh secara sistematis dalam kitabnya ar-Risalah. Kemudian menyusul para ulama’ setelahnya dengan kitab-kitab ushul fiqh, seperti al-Mustasyfa karya Abu Hamid al-Ghozali, al-Ahkam oleh Abu Hasan al-‘Amidi, Minhajul Wushul ila ‘Ilmil Ushul oleh al-Baidhawy dan lain lain. Kemudian ulama setelahnya menyusun kitab-2 ushul fiqh muyassar (yang mudah dipelajari dan difahami) seperti Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haqqi min ‘Ilmil Ushul karya asy-Syaukani, Tahhsilul Wushul ila Ilmil Ushul karya Muhammad Abdurrahman Ied al-Mihlawy, Ushul al-Fiqh dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatis Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, kitab ini adalah kitab termudah untuk difahami. Ilmu ushul fiqh ini digunakan untuk mempermudah dalam beristinbat dalam memahami nushush secara rasional dan logis dimana kaidah dasar haruslah difahami dulu sebelum masuk ke pembahasan ilmu ushul fiqh ini.


Bersambung……..

Sabtu, 25 Februari 2012

Posted by anak baru GEDE |

Fenomena Pengeboman, Buah Pemikiran Khawarij 1/2 Rabu, 7 April 2004 07:32:59 WIB FENOMENA PENGEBOMAN, BUAH PEMIKIRAN KHAWARIJ Oleh Lembaga Ulama Besar Saudi Arabia Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2] Muqadimmah Pengeboman, yang marak akhir-akhir ini, diyakini sebagai suatu alat perjuangan kelompok tertentu, baik muslim atau non muslim. Hanya saja yang dilakukan oleh segelintir orang dari kalangan muslim nampak lebih menonjol sehingga banyak disorot. Timbul pertanyaan, apakah aksi ini memiliki dasar syar’i atau semata-mata salah interpretasi (penafsiran) terhadap nash (dalil) syar’i, yang tentunya berdampak buruk. Berikut fatwa dari Lembaga Ulama Besar Saudi Arabia, berkenan dengan pengeboman di Riyadh, ibu kota Saudi Arabia. Pengambilan peristiwa ini sebagai contoh, karena sebelumnya pernah terjadi peristiwa serupa di Indonesia. Telah terbit penjelasan dari Hai’ah Kibarul Ulama (Lembaga Ulama Besar Saudi Arabia) seputar beberapa peristiwa pengeboman yang terjadi di kota Riyadh belakangan ini. Berikut teks penjelasannya : ____________________________________
Majelis Hai’ah Kibarul Ulama dalam pertemuan khususnya yang diselenggarakan di kota Riyadh pada hari rabu 13/3/1424H telah membahas peristiwa-peritiwa pengeboman yang terjadi di Riyadh Senin 11/3/1424H yang mengakibatkan pembunuhan, penghancuran, keresahan dan musibah-musibah yang menimpa mayoritas kaum muslimin dan non muslim. Perlu diketahui bahwa syari’at Islam datang untuk menjaga 5 pokok yang amat mendasar serta mengharamkan untuk diterjang yaitu : Agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Tiada perselisihan diantara kaum muslimin tentang haramnya menganiaya jiwa orang yang terjaga dalam agama Islam baik seorang muslim sehingga tidak boleh dianiaya dan dibunuh tanpa alasan yang benar. Barangsiapa melanggarnya, niscaya dia memikul dosa besar. Allah berfirman. “Artinya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” [An-Nisa’ : 93] “Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain (hukum qishas) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” [1] [Al-Maidah : 32] Mujahid Rahimahullah berkata : “ ….Ayat ini menunjukkan betapa besarnya (dosa) membunuh jiwa tanpa alasan yang benar”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Tidak halal darah seseorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah kecuali (karena) tiga perkara : jiwa dengan jiwa, pezina yang sudah menikah dan orang yang keluar dari agama Islam, meninggalkan jama’ah” [Muttafaqun ‘alaihi dan ini lafadh Bukhari] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda. “Artinya : Aku diperintah (Allah) untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah mengerjakan (semua) itu maka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka adalah atas Allah” [Muttafaqun ‘alaihi dan hadits Ibnu Umar] Dalam sunan Nasa’i dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Sungguh hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim” Suatu hari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu pernah melihat baitullah atau ka’bah lalu ia berkata : “Alangkah besarnya kehormatanmu ! Namun orang mukmin masih lebih besar kehormatannya di sisi Allah dari padamu” Semua dalil-dalil ini dan masih banyak lainnya lagi menunjukkan betapa besar kehormatan darah seorang muslim. Maka haram membunuhnya dengan sebab apapun kecuali apa yang telah dijelaskan oleh nash-nash syar’i. Karena itulah, maka tidak halal bagi seseorang untuk menganiaya seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan agama. Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami (menghadapi) Bani Huraqah, maka kami datang (menyerang) kaum tersebut pagi hari. Kamipun berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang Anshar menyusul (mengejar) seorang diantara mereka [2]. Tatkala kami telah berhasil mencapainya, ia berucap : “Laa Ilaaha Illallaah”. Temanku orang Anshar menahan dirinya (dari membunuhnya), sementara aku menikamkan tombakku sehingga orang itu terbunuh olehku. Ketika kami datang (ke Madinah) berita itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda : “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah?” Aku menjawab. “Orang itu hanya mencari perlindungan saja” (pura-pura mengucapkan kalimat tauhid). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulangi pertanyaan tadi sehingga aku berangan-angan sekiranya aku belum masuk Islam kecuali pada hari itu” [Hadits Riwayat Bukhari 4269, 6872, dan Muslim 273,274 dan ini lafadz Bukhari] Hadits ini menunjukkan secara gamblang tentang kehormatan darah seorang muslim. Perhatikanlah kisah ini, kaum muslimin dalam kancah peperangan. Tatkala mereka dapat mengejar musuhnya dan berkesempatan untuk menyudahinya, kemudian laki-laki musyrik itu mengucapkan kalimat tauhid dan Usamah membunuhnya karena menurut persangkaannya orang musyrik tersebut mengucapkan kalimat tauhid tidak lain hanya untuk menyelamatkan dirinya. Sekalipun kondisi dan alasan tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima alasan Usamah. Semua ini menunjukkan secara jelas betapa besar kehormatan darah kaum muslimin dan betapa besar dosa pelanggarnya. Sebagaimana darah seorang muslim itu haram ditumpahkan, maka begitu pula hartanya adalah haram diambil dan terjaga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Sesungguhnya darahmu, dan hartamu adalah haram bagimu, seperti haramnya harimu ini, dalam bulanmu ini, dalam negerimu ini” [Hadits Riwayat Muslim] Dan ucapan ini, beliau sampaikan ketika berkhutbah pada hari Arafah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula seperti hadits ini pada khutbah hari nahr (Qurban/Iedul Adha). Berdasarkan keterangan di muka maka telah jelas keharaman membunuh jiwa yang dilindungi tanpa alasan yang benar. Dan termasuk jiwa yang dilindungi dalam Islam ialah … jiwa-jiwa yang terikat perjanjian dan ahli dzimmah[3] dan orang-orang yang meminta perlindungan (keamanan). Dari Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu ‘anhu beliau bersabda. “Artinya : Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada dalam ikatan perjanjian, -pent), maka ia tidak akan mencium bau syurga, padahal baunya itu bisa dirasakan (dari jarak) sejauh 40 tahun (lama) perjalanan” [Hadits Riwayat Bukhari] [Diterjemahkan oleh Ibnu Ahmad dari Majalah Ad-Da’wah volume 1893, 21 Rabi’ul Awwal 1424H/22 Mei 2003M hal. 32-33, Disalin ulang dari Majalah Al-Furqon edisi 1/Th III/Sya’ban 1424 hal. 38-41] _________
Foote Note. [1] Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya. [2] Namanya Mirdas bin Amr Al-Fidaki. Lihat Fathul Bari (12/240) oleh Ibnu Hajar. [3] Ahli Dzimmah ialah orang-orang bukan Islam yang berada di bawah perlindungan pemerintah Islam. Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=597&bagian=0

Total Tayangan Halaman